Sabtu, 11 Februari 2017

Day-1

diunduh dari google.com

Setiap perempuan suka disebut cantik.
Beberapa di antaranya pun suka dibilang kurus.
Sudah banyak pula bertebaran quote yang mengatakan tak ada korelasinya antara cantik dan kurus. Jadi aku tidak akan membahas itu. Toh, dibahas pun masih banyak yang merasa kurang cantik hanya karena kurang kurus. Padahal jelas-jelas status dan caption instagramnya, “cantik itu ejaannya bukan k.u.r.u.s.”; “Gendut? No problem!”; atau sejenisnya.
Ewh! Kalau tidak mau membahas itu, kenapa harus pakai kalimat pembuka seperti di atas? Aku kira ada kaitannya. Secuil. Haha. Itu karena bingung, mau mengawali seperti apa.
Jadi, apa yang mau kamu bahas? Aku sendiri bingung, tapi pikiranku mengganjal pada satu hal. Ukuran. Size.
Kemarin malam ketika scroll atas-bawah pada recent update aplikasi blackberry messenger, muncul status dari seorang teman. Begini bunyinya:
“Kenapa masih pada sentimen banget sih sama orang yg badannya gemuk. Sama-sama manusia juga kan. Salah ya misalkan naik motor atau nebeng ke orang lain gitu.”
“Misalkan ngga suka dan ngga mau liat orang gemuk ya tinggal berpaling atau kalau ngga tutup mata aja”
Dua status tadi berasal dari orang yang sama. Aku tidak tahu pasti apa yang membuat dia semarah itu tapi yang jelas ini berkaitan dengan ukuran tubuhnya. Sepenglihatanku, sebelumnya dia jarang sekali atau malah tidak pernah untuk sekadar curhat dan melampiaskan emosinya di media sosial. Baru kali itu dia mengeluhkan perilaku orang lain di BBM. Ini sesuatu yang menarik, pikirku. Seseorang yang kalem dan tenang bisa seketika ‘mbrutal’ ketika hal pribadinya terusik.
Kalau aku tangkap dari status yang dia buat, ada seseorang atau kelompok yang mempermasalahkan ukuran tubuhnya. Padahal jelas-jelas ukuran tubuh adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan sebenarnya tidak ada masalah dengan hal itu.
Nah lain lagi yang terjadi padaku. Tadi pagi ketika buka instagram, ada teman yang mengomentari fotoku. Aku disuruhnya makan yang banyak biar tidak kurus. Sebelumnya memang ada yang bilang aku terlihat kurus di foto itu. Aku sebenarnya tidak ambil hati atas perkataan mereka, tidak juga ambil pusing. Aku makan seperti biasanya dan tidak terbebani untuk menambah porsi agar menjadi berisi. Bebas.
Tapi ketika disandingkan dengan kasus temanku tadi, aku jadi kembali berpikir. Jadi manusia itu serba salah ya. Gemuk, dihujat. Kurus, dicaci.
Tiba-tiba di otakku terputar sebuah lagu dari Mbak Meghan Trainor; All about that bass. Di lagu itu memang mendorong perempuan untuk tidak mengkhawatirkan ukuran tubuhnya, terlebih yang besar. Tapi lagu itu aku rasa sedikit merendahkan perempuan lainnya yang bertubuh kurus.
“...
She says, boys they like a little more booty to hold at night
You know I won’t be no stick-figure, silicone barbie doll
...”
Tapi itu hanya persepsiku saja. Lagu bisa diinterpretasikan secara berbeda oleh setiap orang, bukan?
Aku jadi ingat dengan seorang mantan pacar teman yang dulu mengaku tidak percaya diri karena tubuh kurusnya. Dia adalah seorang laki-laki yang kalau dilihat dari segi fisik bisa dibilang ganteng. Dia pun cerdas, memiliki karisma dan selalu tampil memukau di depan umum entah ketika berbicara menyampaikan gagasan atau sekadar menghibur lewat lagu. Ini menunjukkan kalau tidak hanya perempuan yang ‘bermasalah’ dengan ukuran tubuh, laki-laki juga. Kepercayaan diri yang ditampilkan di publik pun tidak selalu sebanding dengan kepercayaan terhadap tubuhnya sendiri.
Apa, sih masalahnya menjadi kurus atau gemuk? Apa pengaruhnya buat kehidupan orang lain?
Bukannya kita punya otoritas terhadap tubuh kita sendiri. Mau gemuk, mau kurus, mau jangkung sekalipun bebas. Mau diet, mau minum pil penambah berat badan, mau makan batu sekalipun terserah.
Terkadang ikut gemas, ketika ada seseorang bertubuh gemuk merendahkan lainnya yang bertubuh kurus hanya karena ingin terlihat lebih baik, pun sebaliknya. “Biarin aku gemuk karena bahagia, daripada kamu kurus kurang gizi.”Mungkin kalimat itu tidak akan berdampak apa-apa jika diucapkan ‘ngguyon’ kepada teman yang sudah terlalu dekat. Tapi lain halnya jika ditujukan secara serius ingin menjatuhkan orang lain. Tidakkah mereka pikir dampak kedepan terhadap kepercayaan diri orang tersebut? Ini yang jadi awalan orang-orang menjadi tidak sayang terhadap tubuhnya sendiri.
Setelah aku menjalani fase gemuk-kurus-gemuk-kurus, aku merasa kebahagiaan tidak terlalu berdampak juga pada ukuran tubuh. Sekarang ini, aku rasa sedang bahagia-bahagia saja tapi ternyata aku terlihat kurusan. Eh... aku belum nimbang berat badan lagi deng, tapi setidaknya teman-temanku memandang seperti itu.
Pokoknya, let them free deh. Ya... setidaknya jangan jadi bajingan yang meruntuhkan kepercayaan diri seseorang dengan mengomentari hal pribadinya, lah. Nggak usah pula ngatur-ngatur orang lain untuk ini-itu agar memenuhi standar kamu, mereka punya standar sendiri.
Ah... ketika sedang menulis ini, ada sebuah pesan masuk di BBM. Seorang teman mengomentari foto yang menjadi display picture-ku sekarang: “Gendats” katanya, yang berarti gendut dalam bahasa gewl. Aku, boleh ngakak?
My God! Di dua media sosial yang berbeda dengan foto yang sebenarnya diambil di waktu yang sama. Hanya angle pengambilan fotonya saja yang berubah. Ukuran tubuhku dinilai berseberangan. Hahaha.

Begitulah.

Ditulis pada 11 Februari 2017 pukul 22. 21 dalam keadaan lapar tapi takut pergi ke dapur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar