Kamis, 09 Februari 2017

Catatan pada 10 Februari 2016

Ketika menengok ke belakang, tersenyumlah

Hai.
Sepertinya hujan selalu menjatuhkan inspirasi lewat tiap rintik air yang turun menjatuhi genteng rumah dan tanah. Bunyi gemericiknya pun seakan melemparku melewati lompatan kenangan. Meski petrichor tidak tercium dari dalam kamar, tapi aku bisa merasakan hawa sejuk yang mampu menentramkan hati dan pikiran.

Kau suka hujan?
Itu adalah obrolan pembuka yang tiba-tiba muncul di aplikasi blackberry messenger-ku. Aku ingat, saat itu adalah sore hari ketika hujan sedang turun deras-derasnya. Kaget? Pasti. Orang yang sering dibicarakan dan diagung-agungkan oleh beberapa teman saat itu sedang memulai obrolan denganku. Aku merasa bangga.
Oh ya, jangan tanya kenapa aku masih ingat awal obrolan yang dua tahun lalu terjadi ini. Aku memang suka mengingat hal yang katanya tidak penting namun menurutku mengesankan. Bahkan aku masih ingat ketika pertama kali kita bertemu secara pribadi tanpa tedeng organisasi. Waktu itu kamu pakai kaos warna putih yang aku tahu merupakan produksi dari teman-teman kita sendiri. Dan aku dibuatmu terpana. Kamu menawan, aku suka.
Jangan pikir aku masih belum move on hanya karena aku menulis dan mengingat ini. Aku hanya terlempar kenangan akibat damainya hujan tadi. Errr... maaf ya hujan, aku nggak maksud nyalahin kamu kok.
Sempat terlintas pemikiran sempit itu pula dalam otakku. Sebenarnya, aku udah move on belum sih? Kok masih belum ada yang nyangkut di hati juga? Tapi setelahnya aku sadar, move on bukan perkara mengganti sosok di hati namun mengikhlaskan. Dan, ya, aku sudah ikhlas.
Aku sudah ikhlas menerima diriku seutuhnya meski ia bolong sana-sini. Aku rela menerima diriku yang hancur hati dan kepercayaannya. Aku mengikhlaskan diriku yang begini untuk aku peluk dan perbaiki.
Aku tidak mempermasalahkan kamu yang pergi. Itu hakmu, pilihanmu bebas untuk bertahan atau meninggalkan. Seperti kamu yang tidak ingin mengurungku dalam sangkar, begitupun aku padamu. Ini hanya perkara, bisakah aku menerima diriku sendiri yang terlanjur sekarat dan kehilangan obat?
Obat yang kupunya tidak bertahan lama. Ia pergi untuk mengobati jiwa lainnya. Ia tidak ingin hidupku terus bergantung padanya lantas mati ketika dosis yang dimiliki sudah tidak bisa lagi mengobati. Maka ia meninggalkan saat dirasa aku sudah pasti kuat menghadapi dunia. Sendirian. Tanpa obat-obatan. Karena pada akhirnya, aku memang harus bisa menjadi obat untuk lukaku sendiri, bukan?
Awalnya berat. Melihat luka seseorang yang sembuh karena obat itu, aku kerap tergoda mengambilnya. Namun hatiku berkata lain. Ia yang selalu percaya kalau aku bisa mengobatinya sendiri. Sempat aku menyerah untuk mencari obat lainnya. Tapi bukan malah menyembuhkan, obat itu yang malah aku sia-siakan. Hatiku menolak dicekoki apa yang tidak ingin ia konsumsi. Aku makin menjadi berdosa, menyia-nyiakan yang sudah mau berusaha.
Dan pada akhirnya, semua kembali padaku. Ini memang harus aku yang menambal hati sendiri. Menyulam seuntai demi seuntai kepercayaan. Membangun segala yang pernah dirobohkan. Dan berjuang untuk diri sendiri. Terima kasih, Anisa.

Aku menerimaku dengan segala yang sudah ada, yang belum ada dan yang akan ada.



Ditulis pada 10 Februari 2016 pukul 10.48. Sambil menunggu hujan reda. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar