Ketika menengok ke belakang, tersenyumlah |
Hai.
Sepertinya hujan selalu
menjatuhkan inspirasi lewat tiap rintik air yang turun menjatuhi genteng rumah dan
tanah. Bunyi gemericiknya pun seakan melemparku melewati lompatan kenangan. Meski
petrichor tidak tercium dari dalam
kamar, tapi aku bisa merasakan hawa sejuk yang mampu menentramkan hati dan
pikiran.
Kau
suka hujan?
Itu adalah obrolan
pembuka yang tiba-tiba muncul di aplikasi blackberry
messenger-ku. Aku ingat, saat itu adalah sore hari ketika hujan sedang
turun deras-derasnya. Kaget? Pasti. Orang yang sering dibicarakan dan
diagung-agungkan oleh beberapa teman saat itu sedang memulai obrolan denganku. Aku
merasa bangga.
Oh ya, jangan tanya
kenapa aku masih ingat awal obrolan yang dua tahun lalu terjadi ini. Aku memang
suka mengingat hal yang katanya tidak penting namun menurutku mengesankan. Bahkan
aku masih ingat ketika pertama kali kita bertemu secara pribadi tanpa tedeng
organisasi. Waktu itu kamu pakai kaos warna putih yang aku tahu merupakan
produksi dari teman-teman kita sendiri. Dan aku dibuatmu terpana. Kamu menawan,
aku suka.
Jangan pikir aku masih
belum move on hanya karena aku
menulis dan mengingat ini. Aku hanya terlempar kenangan akibat damainya hujan
tadi. Errr... maaf ya hujan, aku nggak maksud nyalahin kamu kok.
Sempat terlintas
pemikiran sempit itu pula dalam otakku. Sebenarnya, aku udah move on belum sih? Kok masih belum ada yang
nyangkut di hati juga? Tapi setelahnya aku sadar, move on bukan perkara mengganti sosok di hati namun mengikhlaskan. Dan,
ya, aku sudah ikhlas.
Aku sudah ikhlas
menerima diriku seutuhnya meski ia bolong sana-sini. Aku rela menerima diriku
yang hancur hati dan kepercayaannya. Aku mengikhlaskan diriku yang begini untuk
aku peluk dan perbaiki.
Aku tidak
mempermasalahkan kamu yang pergi. Itu hakmu, pilihanmu bebas untuk bertahan
atau meninggalkan. Seperti kamu yang tidak ingin mengurungku dalam sangkar,
begitupun aku padamu. Ini hanya perkara, bisakah aku menerima diriku sendiri
yang terlanjur sekarat dan kehilangan obat?
Obat yang kupunya tidak
bertahan lama. Ia pergi untuk mengobati jiwa lainnya. Ia tidak ingin hidupku terus
bergantung padanya lantas mati ketika dosis yang dimiliki sudah tidak bisa lagi
mengobati. Maka ia meninggalkan saat dirasa aku sudah pasti kuat menghadapi
dunia. Sendirian. Tanpa obat-obatan. Karena pada akhirnya, aku memang harus
bisa menjadi obat untuk lukaku sendiri, bukan?
Awalnya berat. Melihat luka
seseorang yang sembuh karena obat itu, aku kerap tergoda mengambilnya. Namun hatiku
berkata lain. Ia yang selalu percaya kalau aku bisa mengobatinya sendiri.
Sempat aku menyerah untuk mencari obat lainnya. Tapi bukan malah menyembuhkan,
obat itu yang malah aku sia-siakan. Hatiku menolak dicekoki apa yang tidak
ingin ia konsumsi. Aku makin menjadi berdosa, menyia-nyiakan yang sudah mau berusaha.
Dan pada akhirnya,
semua kembali padaku. Ini memang harus aku yang menambal hati sendiri. Menyulam
seuntai demi seuntai kepercayaan. Membangun segala yang pernah dirobohkan. Dan berjuang
untuk diri sendiri. Terima kasih, Anisa.
Aku menerimaku dengan
segala yang sudah ada, yang belum ada dan yang akan ada.
Ditulis pada 10 Februari 2016 pukul 10.48. Sambil menunggu hujan reda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar