Rabu, 22 Februari 2017

Day-9

"Pada akhirnya aku meyakini bahwa revolusi dimulai dari pintu kamarmu. Tutup dulu pintunya, istirahatlah. Esok nanti, buka pintumu lalu guncangkan dunia."

Akhirnya aku memilih menunda untuk mengedit pesanan tulisan teman yang akan dilombakan, untuk selanjutnya mengistirahatkan pikiran dan badan. Perasaan juga, maksudku. Selamat tidur, hutang tulisanku di sini terlunasi. Bahagianya.

Rangkaian #Challenge, selesai ditulis pada 23 Februari pukul 3.42 dini hari.

Day--8

"Revolusi dimulai dari atas kasur. Setiap yang akan melakukan perubahan butuh fisik yang bugar dengan akal yang tajam. Untuk mendapatkannya, istirahat cukuplah jawabannya."

Rangkaian #Challenge pengganti Day-8, selesai ditulis pada 23 Februari 2017 pukul 3.37 dini hari dalam keadaan hampir tak sadar diri.

Day-7

"Revolusi tidak dimulai dari tempat tidur. Terjagalah! Pikirkan apa yang harus hari esok lakukan. Jangan biarkan dirimu terbuai dalam impian."

Rangkaian #Challenge sebagai pengganti Day-7, selesai ditulis pada 23 Februari 2017 pukul 3.33 dini hari dalam keadaan bimbang.

Day-6

Surat untuk anak-anakku di masa mendatang.


Halo, sayang!

Kalau kamu membaca tulisan ini, ibu pastikan kamu memiliki ibu dengan pengetahuan lebih dari cukup untuk mendidikmu menjadi seorang manusia yang tidak ala kadarnya. Karena anak-anak ibu memang tidak ada yang biasa saja, nak. Mereka istimewa dengan cara yang berbeda.
Ketahuilah anakku, hari ini dan entah sampai kapan ibumu masih terkukung kebodohan. Maka dari itu ia belajar. Ketika muda, ibumu hobi sekali memberi dan menerima tantangan. Menurutnya itu adalah suatu cara elegan untuk memaksa diri agar mau belajar. 
Ibumu suka menulis, hanya saja tidak pandai melakukannya secara konstan. Jadi ketika ada seorang teman menantangnya membuat satu tulisan, sehari dalam waktu tigapuluh hari, ia dengan semangat menyetujuinya. Meski pada akhirnya harus begadang hingga pukul tiga pagi seperti ketika ia membuat surat ini untukmu, ia tidak menyesal sedikit pun. Baginya konsekuensi inilah yang harus ia ambil kalau ingin melakukan perubahan.
Masih banyak tantangan-tantangan yang sudah ia lewati, nak. Namun baginya kegagalan dan keberhasilan bukan menjadi ujung, sayangku. Karena menurutnya lagi, tidak ada kata selesai dalam belajar. Ia akan selalu melebar saat diisi, membuat ibumu ingin terus mengaliri.
Anakku, di dunia yang ibu tempati sekarang, banyak terjadi kekacauan-kekacauan. Kemunafikan di mana-mana, kekejian berkeliaran dan kejahatan sudah serupa hal biasa. Semua diakibatkan keberadaan manusia dungu dengan otak sepertiga lumut dan hati setengah logam, berseliweran, menebar segala kebencian dan keserakahan. Maka itu sayangku, sudah ibu putuskan ibu harus belajar. Ibu harus menjadi cerdas agar  bisa mendidikmu. Buat perubahan itu, anakku. Lanjutkan perjuangan ibu.


Salam,

Ibu

Rangkaian #Challenge sebagai pengganti Day-6, selesai ditulis pada 23 Februari pukul 3.25 dini hari dalam mata berat.


Day-5

Mataku ngantuk, tapi akalku meronta. Mana bisa kamu lelap tidur kalau belum selesaikan tujuh tulisanmu malam ini? Ah, bajingan itu. Aku tidak akan ikhlas kalau harus menyisihkan uang jajanku untuk menraktirnya es krim sebanyak hari dalam satu minggu hanya karena kemalasanku menulis. Aku nggak akan kalah kali ini.
Entah akan menjadi tulisan absurd macam apa, yang jelas malam ini aku menulis dengan terpaksa dan tergesa. Ditemani mas-mas garang dari FSTVLST yang aduhai musiknya, dan kadang syahdunya Frau aku menarikan jariku di atas keyboard.
Sayang sekali malam ini aku tidak merasa rindu mantan atau terbayang gebetan. Mereka seakan bertransformasi menjadi debu yang diacuhkan hadirnya dalam ingatanku.
Ah.
Sial!
Berkali-kali aku mengingat-ingat beberapa mantan kekasih, tapi hampa. Mereka sedang tidak bisa menjadi inspirasiku menulis pagi ini.
Sepertinya ini pengaruh musik yang tidak mendukung untuk bermelankoli. Orang-orang di kerumunan ini harus segera aku sudahi, lalu ganti.
Atau mungkin ini pengaruh mataku yang sudah seperempat merem? Entahlah. Yang jelas, biar aku sudahi tulisan ini agar bisa menulis sesuatu yang baru lagi.
Dengan diakhirinya tulisan ini, maka Orang-orang di kerumunan milik FSTVLST pun berganti menjadi suara khas John Mayer dengan Slow Dancing in a Burning Roomnya.
Bye~


Rangkaian #Challenge sebagai pengganti Day-5, ditulis pada 23 Februari 2017 pukul 2.35 dini hari.

Day-4

Hai, Gus.
Apa kabar? Ehm... iya, aku tahu. Kamu pasti merasa aneh kalau aku menanyakan kabar. Bukan karena aku sudah tahu keadaanmu, hanya saja mungkin kamu terlalu hapal kalau aku bukan tipe orang yang suka berbasa-basi dengan kabar. Tapi ini lain, aku ingin tahu kabarmu, bagaimana keadaanmu dan sekisah tentangmu yang sekarang.
Mungkin yang aku lakukan adalah suatu kesia-siaan. Bertutur tapi tak tepat sasaran. Biar saja. Karena yang sia akan berujung makna pada akhirnya. Tulisan ini selain untuk memenuhi tantangan dari seorang teman, juga sebagai bentuk perasaan yang tidak mampu aku sampaikan. Jadi biarkan aku meneruskannya.
Jadi, apa kabar?
Semoga keadaanmu sama denganku yang sekarang. Bahagia, dikelilingi banyak teman yang meski menyebalkan tapi sangat bisa diandalkan dan sudah teruji tidak akan meninggalkan. Terlebih dengan kesendirianku yang sekarang, membuat waktuku seperti jadi rebutan. Hampir tidak ada hari yang terlewat tanpa aku berdiam diri di kamar sendirian. Akan selalu ada teman yang mengajakku pergi. Entah itu sekadar nongkrong di kedai kopi hingga menemani membeli mainan uno stacko. Tapi lain halnya kalau aku di rumah. Kamu tahu sendiri, aku bahkan hampir tidak punya teman di sana. Eh... kok aku malah seperti cerita sendiri ya. Hahaha. Maaf ya. Intinya aku harap kamu sebahagia aku, bahkan harus lebih. Apalagi sudah ada mbak pacar yang mengisi hati. Lain halnya dengan aku yang masih bergelut dengan sepi, wakakak.
By the way, bagaimana tugas akhirmu? Kamu pernah cerita kalau kamu harus lulus tepat waktu. Apa mungkin karena itu kamu menjadi hilang dari peredaran? Kamu sedang fokus mengerjakannya, ya? Kalau iya, semangat! Semoga doaku yang dulu tidak terkabulkan. Hahaha.. kamu ingat? aku pernah berdoa kalau kita harus wisuda bersama yang itu akhirnya kamu harus menunggu setidaknya setahun lagi untuk hal itu. Percayalah, aku hanya bercanda. Mana mungkin aku tega menahan kamu yang ingin lulus.

Tidak banyak yang ingin aku tanyakan sebenarnya. Aku hanya kecipratan penasaran saja, sebenarnya kamu sedang apa sampai teman-teman banyak yang menanyakanmu padaku. Memang sesusah itu ya untuk tahu keadaanmu? Atau bisa saja sih, mereka hanya ingin meledekku lewat pertanyaan-pertanyaan itu. Apapun itu, sejauh tidak terdengarnya kabar buruk yang menimpamu selama ini aku simpulkan kamu baik-baik saja dan sedang berbahagia sekarang. Semoga.
Sudah saja ya, Gus. Aku pamit dulu, dad... eh bentar! Selamat ulang tahun, Gusak Tilas Wangi. Nggak sengaja loh nulis ini di hari ulang tahun kamu. Kalau kamu sudah menerima pesan whatsapp dari aku, itu artinya aku baru saja menyelesaikan tulisan ini.
Sehat dan bahagia selalu ya, mas gusak.

Salam,


Perempuan yang katamu titisan Dewa Siwa



Rangkaian #Challenge sebagai pengganti Day-4, ditulis pada 18 Februari 2017.
#SuratBuatParaKekasih

Day-3

Hai, Rizky Nur Firdausi.
Eki, apa kabar? Lama juga ya kita nggak ketemu. Maaf aku nggak bisa hadir di acara pernikahanmu. Bukan. Bukan karena patah hati ditinggal mantan nikah, bukan. Aku yakin kamu bahkan jauh dari pemikiran itu. Aku sedang ada agenda yang tidak bisa ditinggalkan waktu itu. Tapi terima kasih undangannya ya. Jujur, undangan dari kamu adalah undangan pernikahan pertama yang aku terima. Hahaha
Sebagai pacar pertama, kamu termasuk orang yang sabar menghadapi aku. Proses pendekatan yang hampir enam bulan tidak membuatmu menyerah meski kita hanya bertahan terikat sebagai pacar selama seminggu saja. Kamu patut diapresiasi, Ki. Hahaha. Pasca-putus pun kita masih berkomunikasi baik sampai aku lupa ada sesuatu apa yang terjadi hingga membuat kita lost contact begitu saja.
Orang bilang, cinta pertama akan abadi. Tapi kamu bukan cinta pertamaku, kamu hanya orang pertama yang menyandang status sebagai pacarku, itu saja. Terlebih mengingat kamu sudah menemukan pendamping hidup yang begitu kamu cintai. Bahagialah selalu bersama istrimu, Ki.
Kalau boleh bernostalgia sedikit tanpa niatan ingin mengulang masa lalu, aku suka  melihat kamu lari-lari menuju gerbang sekolah menghindari telat. Dulu, bahkan aku sempat berharap kamu terlambat setiap hari saja, haha.
Mustahil kamu akan membaca ini tanpa aku yang memberitahumu. Tapi aku nggak akan memberitahumu. Biarkan saja tersimpan abadi di sini sebagai ungkapan terima kasih, kamu telah sudi membiarkan aku melukiskan cerita yang meski hanya secuil dalam hidupmu yang berarti. Bersetialah, aku yakin kamu bukan pengkhianat. Kamu akan bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi bagianmu sekarang.
Eki, pokoknya aku mau ngucapin makasih yang setulus-tulusnya dari hati paling dalam. Sekecil apapun aku di hidupmu atau kamu di hidupku, tetap akan meninggalkan kenangan manis. Ya, sedikit bangga lah pacar pertamaku cowok ngehits di jamannya haha. Dan kamu pun patut berbangga juga pernah ngeluluhin aku waktu itu, yang notabene paling susah didekati cowok wleeek
Udah dulu aja ya, nanti bisa lah dilanjutin di kedai kopi sekalian ajak mbak istri muehehe. Atau mau berdua aja? Wakakak.
Sehat dan bahagia selalu, Eki.

Salam.



Perempuan bercelana pendek saat kencan pertama


Masih rangkaian #Challenge sebagai pengganti Day-3, entah ditulis kapan.
#SuratBuatParaKekasih

Minggu, 12 Februari 2017

Day-2

diunduh dari google.com

Rinduku serupa ombak yang bergulung menerjang karang, melewati perahu nelayan hingga sampai di bibir pantai. Lantas hanya mampu menyapu mata kakimu sekian detik saja, setelahnya ia harus kembali. Menuju hamparan laut lepas. Namun percayalah, dia akan selalu pulang. Menyapa pasir-pasir pantai dan meninggalkan jejak buih yang perlahan menghilang. Meski tahu, kamu tak selalu ada di sana untuk menangkap dan mencecap basahnya.
Beruntung, tanpa kibasan rambutmu yang diterjang angin laut dan serpihan pasir pada kaki telanjangmu di bibir pantai, ombak masih bergelombang. Melemparkan sepercik dua percik harapan pada batu karang yang bisu agar mau memanggilmu singgah. Mengunjungi rumah-rumah nelayan dan akhirnya sampai di hamparan pasir pantai. Hanya untuk kembali merasakan, betapa kuku kakimu pun ingin segera diselimuti  dahsyatnya ombak.
 Lalu ia berlari, ke arahmu. Segera.
Saat kamu datang. 

Ditulis pada 12 Februari 2017 pukul 16.34 saat gerimis merintik.

Sabtu, 11 Februari 2017

Day-1

diunduh dari google.com

Setiap perempuan suka disebut cantik.
Beberapa di antaranya pun suka dibilang kurus.
Sudah banyak pula bertebaran quote yang mengatakan tak ada korelasinya antara cantik dan kurus. Jadi aku tidak akan membahas itu. Toh, dibahas pun masih banyak yang merasa kurang cantik hanya karena kurang kurus. Padahal jelas-jelas status dan caption instagramnya, “cantik itu ejaannya bukan k.u.r.u.s.”; “Gendut? No problem!”; atau sejenisnya.
Ewh! Kalau tidak mau membahas itu, kenapa harus pakai kalimat pembuka seperti di atas? Aku kira ada kaitannya. Secuil. Haha. Itu karena bingung, mau mengawali seperti apa.
Jadi, apa yang mau kamu bahas? Aku sendiri bingung, tapi pikiranku mengganjal pada satu hal. Ukuran. Size.
Kemarin malam ketika scroll atas-bawah pada recent update aplikasi blackberry messenger, muncul status dari seorang teman. Begini bunyinya:
“Kenapa masih pada sentimen banget sih sama orang yg badannya gemuk. Sama-sama manusia juga kan. Salah ya misalkan naik motor atau nebeng ke orang lain gitu.”
“Misalkan ngga suka dan ngga mau liat orang gemuk ya tinggal berpaling atau kalau ngga tutup mata aja”
Dua status tadi berasal dari orang yang sama. Aku tidak tahu pasti apa yang membuat dia semarah itu tapi yang jelas ini berkaitan dengan ukuran tubuhnya. Sepenglihatanku, sebelumnya dia jarang sekali atau malah tidak pernah untuk sekadar curhat dan melampiaskan emosinya di media sosial. Baru kali itu dia mengeluhkan perilaku orang lain di BBM. Ini sesuatu yang menarik, pikirku. Seseorang yang kalem dan tenang bisa seketika ‘mbrutal’ ketika hal pribadinya terusik.
Kalau aku tangkap dari status yang dia buat, ada seseorang atau kelompok yang mempermasalahkan ukuran tubuhnya. Padahal jelas-jelas ukuran tubuh adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan sebenarnya tidak ada masalah dengan hal itu.
Nah lain lagi yang terjadi padaku. Tadi pagi ketika buka instagram, ada teman yang mengomentari fotoku. Aku disuruhnya makan yang banyak biar tidak kurus. Sebelumnya memang ada yang bilang aku terlihat kurus di foto itu. Aku sebenarnya tidak ambil hati atas perkataan mereka, tidak juga ambil pusing. Aku makan seperti biasanya dan tidak terbebani untuk menambah porsi agar menjadi berisi. Bebas.
Tapi ketika disandingkan dengan kasus temanku tadi, aku jadi kembali berpikir. Jadi manusia itu serba salah ya. Gemuk, dihujat. Kurus, dicaci.
Tiba-tiba di otakku terputar sebuah lagu dari Mbak Meghan Trainor; All about that bass. Di lagu itu memang mendorong perempuan untuk tidak mengkhawatirkan ukuran tubuhnya, terlebih yang besar. Tapi lagu itu aku rasa sedikit merendahkan perempuan lainnya yang bertubuh kurus.
“...
She says, boys they like a little more booty to hold at night
You know I won’t be no stick-figure, silicone barbie doll
...”
Tapi itu hanya persepsiku saja. Lagu bisa diinterpretasikan secara berbeda oleh setiap orang, bukan?
Aku jadi ingat dengan seorang mantan pacar teman yang dulu mengaku tidak percaya diri karena tubuh kurusnya. Dia adalah seorang laki-laki yang kalau dilihat dari segi fisik bisa dibilang ganteng. Dia pun cerdas, memiliki karisma dan selalu tampil memukau di depan umum entah ketika berbicara menyampaikan gagasan atau sekadar menghibur lewat lagu. Ini menunjukkan kalau tidak hanya perempuan yang ‘bermasalah’ dengan ukuran tubuh, laki-laki juga. Kepercayaan diri yang ditampilkan di publik pun tidak selalu sebanding dengan kepercayaan terhadap tubuhnya sendiri.
Apa, sih masalahnya menjadi kurus atau gemuk? Apa pengaruhnya buat kehidupan orang lain?
Bukannya kita punya otoritas terhadap tubuh kita sendiri. Mau gemuk, mau kurus, mau jangkung sekalipun bebas. Mau diet, mau minum pil penambah berat badan, mau makan batu sekalipun terserah.
Terkadang ikut gemas, ketika ada seseorang bertubuh gemuk merendahkan lainnya yang bertubuh kurus hanya karena ingin terlihat lebih baik, pun sebaliknya. “Biarin aku gemuk karena bahagia, daripada kamu kurus kurang gizi.”Mungkin kalimat itu tidak akan berdampak apa-apa jika diucapkan ‘ngguyon’ kepada teman yang sudah terlalu dekat. Tapi lain halnya jika ditujukan secara serius ingin menjatuhkan orang lain. Tidakkah mereka pikir dampak kedepan terhadap kepercayaan diri orang tersebut? Ini yang jadi awalan orang-orang menjadi tidak sayang terhadap tubuhnya sendiri.
Setelah aku menjalani fase gemuk-kurus-gemuk-kurus, aku merasa kebahagiaan tidak terlalu berdampak juga pada ukuran tubuh. Sekarang ini, aku rasa sedang bahagia-bahagia saja tapi ternyata aku terlihat kurusan. Eh... aku belum nimbang berat badan lagi deng, tapi setidaknya teman-temanku memandang seperti itu.
Pokoknya, let them free deh. Ya... setidaknya jangan jadi bajingan yang meruntuhkan kepercayaan diri seseorang dengan mengomentari hal pribadinya, lah. Nggak usah pula ngatur-ngatur orang lain untuk ini-itu agar memenuhi standar kamu, mereka punya standar sendiri.
Ah... ketika sedang menulis ini, ada sebuah pesan masuk di BBM. Seorang teman mengomentari foto yang menjadi display picture-ku sekarang: “Gendats” katanya, yang berarti gendut dalam bahasa gewl. Aku, boleh ngakak?
My God! Di dua media sosial yang berbeda dengan foto yang sebenarnya diambil di waktu yang sama. Hanya angle pengambilan fotonya saja yang berubah. Ukuran tubuhku dinilai berseberangan. Hahaha.

Begitulah.

Ditulis pada 11 Februari 2017 pukul 22. 21 dalam keadaan lapar tapi takut pergi ke dapur.

Kamis, 09 Februari 2017

Catatan pada 10 Februari 2016

Ketika menengok ke belakang, tersenyumlah

Hai.
Sepertinya hujan selalu menjatuhkan inspirasi lewat tiap rintik air yang turun menjatuhi genteng rumah dan tanah. Bunyi gemericiknya pun seakan melemparku melewati lompatan kenangan. Meski petrichor tidak tercium dari dalam kamar, tapi aku bisa merasakan hawa sejuk yang mampu menentramkan hati dan pikiran.

Kau suka hujan?
Itu adalah obrolan pembuka yang tiba-tiba muncul di aplikasi blackberry messenger-ku. Aku ingat, saat itu adalah sore hari ketika hujan sedang turun deras-derasnya. Kaget? Pasti. Orang yang sering dibicarakan dan diagung-agungkan oleh beberapa teman saat itu sedang memulai obrolan denganku. Aku merasa bangga.
Oh ya, jangan tanya kenapa aku masih ingat awal obrolan yang dua tahun lalu terjadi ini. Aku memang suka mengingat hal yang katanya tidak penting namun menurutku mengesankan. Bahkan aku masih ingat ketika pertama kali kita bertemu secara pribadi tanpa tedeng organisasi. Waktu itu kamu pakai kaos warna putih yang aku tahu merupakan produksi dari teman-teman kita sendiri. Dan aku dibuatmu terpana. Kamu menawan, aku suka.
Jangan pikir aku masih belum move on hanya karena aku menulis dan mengingat ini. Aku hanya terlempar kenangan akibat damainya hujan tadi. Errr... maaf ya hujan, aku nggak maksud nyalahin kamu kok.
Sempat terlintas pemikiran sempit itu pula dalam otakku. Sebenarnya, aku udah move on belum sih? Kok masih belum ada yang nyangkut di hati juga? Tapi setelahnya aku sadar, move on bukan perkara mengganti sosok di hati namun mengikhlaskan. Dan, ya, aku sudah ikhlas.
Aku sudah ikhlas menerima diriku seutuhnya meski ia bolong sana-sini. Aku rela menerima diriku yang hancur hati dan kepercayaannya. Aku mengikhlaskan diriku yang begini untuk aku peluk dan perbaiki.
Aku tidak mempermasalahkan kamu yang pergi. Itu hakmu, pilihanmu bebas untuk bertahan atau meninggalkan. Seperti kamu yang tidak ingin mengurungku dalam sangkar, begitupun aku padamu. Ini hanya perkara, bisakah aku menerima diriku sendiri yang terlanjur sekarat dan kehilangan obat?
Obat yang kupunya tidak bertahan lama. Ia pergi untuk mengobati jiwa lainnya. Ia tidak ingin hidupku terus bergantung padanya lantas mati ketika dosis yang dimiliki sudah tidak bisa lagi mengobati. Maka ia meninggalkan saat dirasa aku sudah pasti kuat menghadapi dunia. Sendirian. Tanpa obat-obatan. Karena pada akhirnya, aku memang harus bisa menjadi obat untuk lukaku sendiri, bukan?
Awalnya berat. Melihat luka seseorang yang sembuh karena obat itu, aku kerap tergoda mengambilnya. Namun hatiku berkata lain. Ia yang selalu percaya kalau aku bisa mengobatinya sendiri. Sempat aku menyerah untuk mencari obat lainnya. Tapi bukan malah menyembuhkan, obat itu yang malah aku sia-siakan. Hatiku menolak dicekoki apa yang tidak ingin ia konsumsi. Aku makin menjadi berdosa, menyia-nyiakan yang sudah mau berusaha.
Dan pada akhirnya, semua kembali padaku. Ini memang harus aku yang menambal hati sendiri. Menyulam seuntai demi seuntai kepercayaan. Membangun segala yang pernah dirobohkan. Dan berjuang untuk diri sendiri. Terima kasih, Anisa.

Aku menerimaku dengan segala yang sudah ada, yang belum ada dan yang akan ada.



Ditulis pada 10 Februari 2016 pukul 10.48. Sambil menunggu hujan reda. 

Senin, 06 Februari 2017

Surat bulan Februari

gambar diunduh dari pinterest.com

Hai, kak.
Tadinya aku sudah mengetik ‘Apa kabar?’ di baris kedua surat ini, tapi lalu kuhapus lagi. Bagiku, itu hanya basa-basi busuk yang tak perlu. Mengingat aku melihatmu sedang baik-baik saja, ya... mungkin itu yang hanya tampak dari mataku. Tapi semoga saja memang kabar kakak baik sebaik apa yang aku lihat.
Kak, bagaimana hatimu? Dengar-dengar kakak masih menyimpan apa yang mereka sebut cinta untukku, ya? Agak heran juga kalau memang begitu. Dua tahun aku kira merupakan waktu yang cukup bahkan lebih untuk menghilangkan bayangan seseorang dalam ingat dan harap. Namun ternyata tidak untukmu ya, kak.
Jujur saja, aku tidak merasa seistimewa itu untuk menjadi seseorang yang tidak bisa dilupakan dan dihapus dalam harapan. Oh ralat... aku memang tidak boleh kakak lupakan, kita terikat dalam pertemanan dan persaudaraan. Mungkin lebih tepatnya, bukan melupakan aku tapi melupakan perasaan-perasaan yang pernah ada untukku.  Mengetahui ada manusia yang rela menyediakan ruang di hatinya untukku selama itu hanya membuatku heran. Apa sih istimewanya aku?
Bukannya sedang mengecilkan diri, tapi aku rasa aku adalah perempuan rumit. Apa menariknya aku? Bahkan aku sendiri kadang-kadang tidak bisa mengerti tentang diriku. Kakak adalah laki-laki cerdas dan cukup waras untuk memilih perempuan yang layak untuk mendapatkan potongan hati dan detik waktu berharga kakak. Percayalah kak, bukan aku orangnya.
Aku belum mengenal diriku secara baik. Masih banyak lautan pikiranku yang belum aku selami. Segala tentang diriku seperti kumpulan benang terjalin acak, kusut dan tak beraturan. Aku pesimis akan ada yang mampu merapihkan lagi tiap untainya, karena aku sendiri merasa tak berdaya menghadapi diri ini.
Untuk setiap ajakan kakak yang aku tolak, aku minta maaf. Itu hanya murni aku yang tidak bisa di waktu tersebut. Lain kali akan aku usahakan kita bisa pergi bersama layaknya teman biasa.
Oh iya, aku bukan ingin melarang siapapun untuk jatuh cinta termasuk padaku. Semua orang berhak mencintai dan dicintai. Itu adalah nikmat Tuhan yang patut disyukuri, meski perkara cinta sudah menjadi hal biasa. Terima kasih, kak sudah mencintai perempuan rumit yang tak jarang tidak bisa mengerti dirinya sendiri ini.
Sudah saja, ya. Semoga kakak menjadi lebih bijak lagi dalam menjatuhkan hati. Jangan berhenti belajar, kakak adalah salah satu dari teman-teman lainnya yang menginspirasiku untuk terus menulis dan belajar.


Salam,


Perempuan yang masih belajar.