|
diunduh dari google.com |
Setiap perempuan suka
disebut cantik.
Beberapa di antaranya
pun suka dibilang kurus.
Sudah banyak pula
bertebaran quote yang mengatakan tak
ada korelasinya antara cantik dan kurus. Jadi aku tidak akan membahas itu. Toh,
dibahas pun masih banyak yang merasa kurang cantik hanya karena kurang kurus. Padahal
jelas-jelas status dan caption
instagramnya, “cantik itu ejaannya bukan k.u.r.u.s.”; “Gendut? No problem!”; atau sejenisnya.
Ewh!
Kalau tidak mau membahas itu, kenapa harus pakai kalimat pembuka seperti di
atas? Aku kira ada kaitannya. Secuil. Haha. Itu karena
bingung, mau mengawali seperti apa.
Jadi,
apa yang mau kamu bahas? Aku sendiri bingung, tapi
pikiranku mengganjal pada satu hal. Ukuran. Size.
Kemarin malam ketika scroll atas-bawah pada recent update aplikasi blackberry messenger, muncul status dari
seorang teman. Begini bunyinya:
“Kenapa masih pada
sentimen banget sih sama orang yg badannya gemuk. Sama-sama manusia juga kan. Salah
ya misalkan naik motor atau nebeng ke orang lain gitu.”
“Misalkan ngga suka dan
ngga mau liat orang gemuk ya tinggal berpaling atau kalau ngga tutup mata aja”
Dua status tadi berasal
dari orang yang sama. Aku tidak tahu pasti apa yang membuat dia semarah itu
tapi yang jelas ini berkaitan dengan ukuran tubuhnya. Sepenglihatanku, sebelumnya
dia jarang sekali atau malah tidak pernah untuk sekadar curhat dan melampiaskan
emosinya di media sosial. Baru kali itu dia mengeluhkan perilaku orang lain di
BBM. Ini sesuatu yang menarik, pikirku. Seseorang yang kalem dan tenang bisa
seketika ‘mbrutal’ ketika hal
pribadinya terusik.
Kalau aku tangkap dari
status yang dia buat, ada seseorang atau kelompok yang mempermasalahkan ukuran
tubuhnya. Padahal jelas-jelas ukuran tubuh adalah sesuatu yang bersifat pribadi
dan sebenarnya tidak ada masalah dengan hal itu.
Nah lain lagi yang
terjadi padaku. Tadi pagi ketika buka instagram, ada teman yang mengomentari
fotoku. Aku disuruhnya makan yang banyak biar tidak kurus. Sebelumnya memang ada
yang bilang aku terlihat kurus di foto itu. Aku sebenarnya tidak ambil hati
atas perkataan mereka, tidak juga ambil pusing. Aku makan seperti biasanya dan
tidak terbebani untuk menambah porsi agar menjadi berisi. Bebas.
Tapi ketika
disandingkan dengan kasus temanku tadi, aku jadi kembali berpikir. Jadi manusia
itu serba salah ya. Gemuk, dihujat. Kurus, dicaci.
Tiba-tiba di otakku
terputar sebuah lagu dari Mbak Meghan Trainor; All about that bass. Di lagu itu
memang mendorong perempuan untuk tidak mengkhawatirkan ukuran tubuhnya,
terlebih yang besar. Tapi lagu itu aku rasa sedikit merendahkan perempuan
lainnya yang bertubuh kurus.
“...
She says, boys they like
a little more booty to hold at night
You know I won’t be no
stick-figure, silicone barbie doll
...”
Tapi itu hanya
persepsiku saja. Lagu bisa diinterpretasikan secara berbeda oleh setiap orang,
bukan?
Aku jadi ingat dengan
seorang mantan pacar teman yang dulu mengaku tidak percaya diri karena
tubuh kurusnya. Dia adalah seorang laki-laki yang kalau dilihat dari segi fisik
bisa dibilang ganteng. Dia pun cerdas, memiliki karisma dan selalu tampil
memukau di depan umum entah ketika berbicara menyampaikan gagasan atau sekadar
menghibur lewat lagu. Ini menunjukkan kalau tidak hanya perempuan yang ‘bermasalah’
dengan ukuran tubuh, laki-laki juga. Kepercayaan diri yang ditampilkan di
publik pun tidak selalu sebanding dengan kepercayaan terhadap tubuhnya sendiri.
Apa, sih masalahnya
menjadi kurus atau gemuk? Apa pengaruhnya buat kehidupan orang lain?
Bukannya kita punya
otoritas terhadap tubuh kita sendiri. Mau gemuk, mau kurus, mau jangkung
sekalipun bebas. Mau diet, mau minum pil penambah berat badan, mau makan batu
sekalipun terserah.
Terkadang ikut gemas,
ketika ada seseorang bertubuh gemuk merendahkan lainnya yang bertubuh kurus
hanya karena ingin terlihat lebih baik, pun sebaliknya. “Biarin aku gemuk karena bahagia, daripada kamu kurus kurang gizi.”Mungkin
kalimat itu tidak akan berdampak apa-apa jika diucapkan ‘ngguyon’ kepada teman yang sudah terlalu dekat. Tapi lain halnya
jika ditujukan secara serius ingin menjatuhkan orang lain. Tidakkah mereka
pikir dampak kedepan terhadap kepercayaan diri orang tersebut? Ini yang jadi
awalan orang-orang menjadi tidak sayang terhadap tubuhnya sendiri.
Setelah aku menjalani
fase gemuk-kurus-gemuk-kurus, aku merasa kebahagiaan tidak terlalu berdampak
juga pada ukuran tubuh. Sekarang ini, aku rasa sedang bahagia-bahagia saja tapi
ternyata aku terlihat kurusan. Eh... aku belum nimbang berat badan lagi deng,
tapi setidaknya teman-temanku memandang seperti itu.
Pokoknya, let them free deh. Ya... setidaknya
jangan jadi bajingan yang meruntuhkan kepercayaan diri seseorang dengan
mengomentari hal pribadinya, lah. Nggak usah pula ngatur-ngatur orang lain untuk
ini-itu agar memenuhi standar kamu, mereka punya standar sendiri.
Ah... ketika sedang
menulis ini, ada sebuah pesan masuk di BBM. Seorang teman mengomentari foto
yang menjadi display picture-ku
sekarang: “Gendats” katanya, yang berarti gendut dalam bahasa gewl. Aku, boleh ngakak?
My God! Di dua media
sosial yang berbeda dengan foto yang sebenarnya diambil di waktu yang sama. Hanya
angle pengambilan fotonya saja yang berubah. Ukuran tubuhku dinilai
berseberangan. Hahaha.
Begitulah.
Ditulis pada 11 Februari 2017 pukul 22. 21 dalam keadaan lapar tapi takut pergi ke dapur.