Limbad.
Itulah panggilan dari
teman-temanku ketika kewarasanku berada di titik lemah. Seperti saat ini,
kurasa. Mengagumkan juga, mengingat aku masih diberi dorongan yang kuat untuk
membuka laptop lalu menarikan jemari di atas tuts keyboard saat jiwaku hampir
lepas dari raga. Aku pun agak terkejut, setan mana yang merasukiku sampai
bisa-bisanya aku memeras otak, memutar kenangan dan menulis di sini alih-alih
terkapar diam di atas kasur seperti tiga puluh menit yang lalu.
Kembali lagi dengan
panggilan ‘Limbad’, itu karena aku yang akan diam tanpa ekspresi sepanjang
pemulihan jiwa. Mungkin bagi orang lain, diam adalah sesuatu yang normal tapi
tidak untukku. Sepanjang hari akan ada saja yang bisa aku ocehkan atau lakukan.
Dan ketika aku sudah diam, beberapa yang dekat denganku akan mengerti pasti ada
sesuatu yang terjadi padaku. Teman sekamarku sendiri merasa pusing dan bingung
katanya kalau aku sedang diam. Padahal dirinya akan ngedumel kalau aku sudah
beraksi dengan ucapan dan tindakan.
Selain diam, aku pun
bisa tiba-tiba menangis di tengah malam. Lagi-lagi, teman sekamarku yang kerap
mengetahuinya. Dia sendiri merasa janggal kalau aku sedang menangis di tengah
malam. Di mata teman-temanku, hatiku sekeras batu. Film semengenaskan apapun
akan terasa biasa saja untukku. Kisah setragis apapun akan terasa ‘ah gitu
doang’ oleh telingaku. Apa? Aku tidak memiliki empati? Entahlah... tapi
kehidupan nyata bagiku sudah merupakan cerminan dari penderitaan. Jadi tidak
ada yang lebih menyedihkan dibanding kenyataan.
Kadang-kadang –ah..
mungkin lebih tepatnya sering kali, alasan aku menangis adalah hal yang sangat
sepele di mata teman-temanku. Hal yang sebenarnya bisa dilewati dengan mudah. Mungkin
hanya aku yang membuat segalanya menjadi rumit. Tapi bukankah tumpukan batu
rapih yang tersusun akan ambruk juga walau hanya bebatuan kecilnya yang
dicongkel keluar? Duh.. maaf, pengandaiannya begitu ribet. Pokoknya, begitulah.
Intinya, hal kecil tadi menjadi titik klimaksku, membuat segala emosi yang
terakumulasi selama ini membuncah dan keluar. Segala yang terpendam akan
memuntahkan gejolaknya bersamaan. Dan saat itu, aku menyerah pada diri sendiri.
Aku akan mengakui kelemahanku dalam menahan gempuran hidup. Tapi lagi-lagi,
meski merasa sudah menyerah aku akan kembali bersinar. Dengan terpaksa atau
dipaksa.
Seperti setelah ini,
aku akan kembali bersinar.
Menjadi anisa, manusia
yang ingin aku jadikan panutan.
Ditulis pada 5 Mei 2017 pukul 21.40 WIB. Selesai menulis ini berencana akan langsung tidur dan mengacuhkan pesan WA dari beberapa teman yang menanyakan tugas kuliah.