Jumat, 05 Mei 2017

Catatan pada 5 Mei 2017



Limbad.
Itulah panggilan dari teman-temanku ketika kewarasanku berada di titik lemah. Seperti saat ini, kurasa. Mengagumkan juga, mengingat aku masih diberi dorongan yang kuat untuk membuka laptop lalu menarikan jemari di atas tuts keyboard saat jiwaku hampir lepas dari raga. Aku pun agak terkejut, setan mana yang merasukiku sampai bisa-bisanya aku memeras otak, memutar kenangan dan menulis di sini alih-alih terkapar diam di atas kasur seperti tiga puluh menit yang lalu.
Kembali lagi dengan panggilan ‘Limbad’, itu karena aku yang akan diam tanpa ekspresi sepanjang pemulihan jiwa. Mungkin bagi orang lain, diam adalah sesuatu yang normal tapi tidak untukku. Sepanjang hari akan ada saja yang bisa aku ocehkan atau lakukan. Dan ketika aku sudah diam, beberapa yang dekat denganku akan mengerti pasti ada sesuatu yang terjadi padaku. Teman sekamarku sendiri merasa pusing dan bingung katanya kalau aku sedang diam. Padahal dirinya akan ngedumel kalau aku sudah beraksi dengan ucapan dan tindakan.
Selain diam, aku pun bisa tiba-tiba menangis di tengah malam. Lagi-lagi, teman sekamarku yang kerap mengetahuinya. Dia sendiri merasa janggal kalau aku sedang menangis di tengah malam. Di mata teman-temanku, hatiku sekeras batu. Film semengenaskan apapun akan terasa biasa saja untukku. Kisah setragis apapun akan terasa ‘ah gitu doang’ oleh telingaku. Apa? Aku tidak memiliki empati? Entahlah... tapi kehidupan nyata bagiku sudah merupakan cerminan dari penderitaan. Jadi tidak ada yang lebih menyedihkan dibanding kenyataan.
Kadang-kadang –ah.. mungkin lebih tepatnya sering kali, alasan aku menangis adalah hal yang sangat sepele di mata teman-temanku. Hal yang sebenarnya bisa dilewati dengan mudah. Mungkin hanya aku yang membuat segalanya menjadi rumit. Tapi bukankah tumpukan batu rapih yang tersusun akan ambruk juga walau hanya bebatuan kecilnya yang dicongkel keluar? Duh.. maaf, pengandaiannya begitu ribet. Pokoknya, begitulah. Intinya, hal kecil tadi menjadi titik klimaksku, membuat segala emosi yang terakumulasi selama ini membuncah dan keluar. Segala yang terpendam akan memuntahkan gejolaknya bersamaan. Dan saat itu, aku menyerah pada diri sendiri. Aku akan mengakui kelemahanku dalam menahan gempuran hidup. Tapi lagi-lagi, meski merasa sudah menyerah aku akan kembali bersinar. Dengan terpaksa atau dipaksa.
Seperti setelah ini, aku akan kembali bersinar.
Menjadi anisa, manusia yang ingin aku jadikan panutan.


Ditulis pada 5 Mei 2017 pukul 21.40 WIB. Selesai menulis ini berencana akan langsung tidur dan mengacuhkan pesan WA dari beberapa teman yang menanyakan tugas kuliah.

1 komentar:

  1. aku fans beratmu, aku baca semua tulisan di kedua blogmu, terima kasih

    BalasHapus