Selasa, 01 November 2016

Catatan pada 27 Oktober 2016

Ketika kau memulai sesuatu, kau harus berani untuk mengakhirinya, kalau tidak maka bersiaplah menerima konsekuensi untuk ditamatkan olehnya.
Ya. Aku telah memulai sesuatu yang salah. Mungkin bagi mereka, ini bukan hal yang serius, ini hanyalah hal remeh yang dibawa serius olehku. Itu hanya pandangan mereka, lain untukku. Bagiku, segala sesuatu yang melibatkan hati dan perasaan tidak ada yang main-main. Segalanya sudah jelas karena akan berdampak besar bagi hidup seseorang, entah langsung atau tidak langsung. Pemikiran seperti itu lahir karena sejarah hidupku dan latar belakangku, aku yakin. Pengalaman membentukku menjadi seseorang yang begitu sensitif ketika membahas hati dan sekelumitnya.
Ini terjadi begitu saja, tanpa rencana. Tidak ada maksud untuk menyakiti siapa-siapa atau tujuan apa. Segalanya mengalir tidak terduga.
Aku sendiri tidak paham ketika menerimanya. Hematku, kita sama-sama bercanda dan ingin bermain-main dengan dunia. Tanpa melibatkan hati, pun logika. Mungkin aku lah yang sedang sakit jiwa, sehingga begitu lancang membuka pintu namun malah pergi meninggalkan sang tamu. Berkelana. Ke antah berantah tidak terjamah.
Mereka bilang, aku terlalu ambil pusing tentangnya. Ia akan baik-baik saja kalau aku mengikuti cerita. Tapi, siapa sutradaranya? Aku tidak suka dengan naskah yang ada. Aku tidak bisa memaksakan diriku berperan menjadi orang lain dalam ceritaku sendiri. Aku tidak suka memaksakan hatiku untuk jatuh. Kasihan, dia sudah terlalu sering terluka jadi tidak akan lagi aku paksa-paksa. Biar saja dia jatuh kalau memang waktunya.
Aku tidak akan berkata, “Kamu terlalu baik untukku.” Kepadanya. Meski memang pada kenyataannya, dia sangat teramat baik. Aku sendiri ingin jatuh kepadanya, tapi hatiku belum bisa. Akalku merangrang, kenapa dengan hatiku? Apa yang kurang dari dirinya? Sosok seperti itu akan sulit ditemui, aku yakin. Tapi bicara hati, memang tidak bisa dipaksa dan ditakar logika.
Sekarang, aku akan mengakhiri segala sesuatu yang dimulai dengan kesalahan. Tidak apa kalau terluka asal tidak ada lagi yang namanya dusta.


Ditulis pada 27 Oktober, 21.37 dalam keadaan gamang.

Catatan pada 28 September 2016

Hidup memang nggak seharusnya berbicara untung-rugi. Baru-baru ini saya menyadari bahwa seseorang nggak akan selalu membalas kebaikanmu, sebaik apapun perlakuanmu terhadapnya. Nggak akan selalu. Camkan itu. Mereka punya caranya sendiri bagaimana berlaku dan bergaul dengan orang lain. Standarmu tidak bisa dipaksakan padanya. Bukan hanya karena kamu baik padanya lantas dia harus baik pula kepadamu, kan? Mungkin dalam hatimu mengharapkan apa yang kamu lakukan kepadanya akan berbalik juga terhadap perlakuannya kepadamu, tidak apa. Saya sering berharap seperti itu, dulu. Namun sekarang ini saya sadar kalau hidup tidak bisa berbicara untung-rugi.
Jangan terburu menyesal kalau sudah berlaku baik pada orang lain. Bukan. Bukan karena ‘Tuhan pasti mencatat kebaikanmu dan kamu akan mendapat pahala’. Bukan seperti itu, maksudku. Urusan pahala sudah ada yang mengatur, tidak perlu dipusingkan karena bukanlah tugasmu menghitungnya. Bagimana pun juga, di atas sudah saya bilang kalau hidup memang nggak seharusnya berbicara untung-rugi. Kalau pikiranmu masih fokus pada pahala yang didapat setelah berbuat kebaikan, maka perkara untung-rugilah yang masih kamu permasalahkan.
Berlaku baiklah pada setiap orang karena memang begitulah manusia. Sejatinya, proses menjadi manusia memang bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu belajar selama sekali hidup, mungkin lebih –itu pun kalau bisa.
Walaupun rupamu manusia, apakah kamu sudah menjadi manusia seutuhnya? Belum tentu. Karena menurut saya, seekor kucing piaraan nenek saya lebih manusiawi dibanding beberapa manusia itu sendiri. Biarkan saya cerita sedikit, btw ini cerita langsung dari nenek saya tentang kucing-kucing liar yang ia biarkan tinggal di gudang penyimpanan gabah di rumahnya. Katanya, kucing-kucing itu memakan tikus yang menggerogoti karung gabah. Jadi dengan senang hati nenek saya menyilakan sang tamu ke gudangnya untuk menjadi tempat peristirahatan dan tempatnya hidup. Begini cerita itu bermula;
Nenek saya memiliki seekor kucing liar yang entah berasal dari mana namun tiba-tiba masuk ke gudang penyimpanan gabah dan menjadi penghuni tetapnya. Nenek selalu menyediakan makanan di piring yang ia letakkan tepat di samping depan pintu gudang agar bisa dimakan sang kucing. Namun, untuk beberapa hari makanan yang nenek sediakan ternyata tidak diindahkan kucing. Dibiarkannya makanan itu tanpa tersentuh sang tamu. Nenek kebingungan karena ini bukanlah kebiasaannya untuk mengacuhkan makanan. Akhirnya diliputi rasa penasaran, nenek masuk ke gudang dan menemukan sang kucing yang ternyata sudah tidak sendiri. Ia bersama beberapa anaknya yang masih mungil, begitu manis membayangkan kehadiran mereka. Kata nenek, kucing itu lebih memilih mencari makanan untuk sang anak dibanding memuaskan dirinya sendiri dengan makanannya. Ia hanya seekor kucing yang tak berakal. Tapi lakunya sangat bernilai kemanusiaan. Itu kalau kalian menangkap apa yang aku maksud. Ngerti, kan? Ngerti lah ya hahaha

Begitulah hidup, Nis.

Catatan pada 28 September 2016, 1:13 AM dari perempuan di depan cermin untuk Anisa.