Kamis, 30 Maret 2017

Day-24



Kamu tau puisi ‘Kangen’ milik Rendra? Ya, begitulah kiranya yang aku rasa ketika melewati hari-hari kesendirian selepas pecahnya kita.
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
karena cinta telah sembunyikan pisaunya.
Kesepian adalah ketakutan dan kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti aku tungku tanpa api.
Untungnya –atau malah celakanya-, aku telah melewati hari-hari itu. Hari di mana langit biru terasa sendu, hari di mana gelak tawa bermakna nelangsa, dan hari di mana ada kamu maka ada dia.
Hari-hari kangen kamu adalah hari di mana aku berteman dengan hantu bernama kenangan.

Day-23



Ada kalanya aku begitu sebal dengan tingkah kekasihmu, namun tak jarang pula tingkahnya bikin aku merasa begitu berharga menjadi seorang perempuan. Persaingan bukan hal yang aku gemari, memenangkannya pun bukan menjadi sebuah mimpi. Aku hanya tidak suka menjadi salah satu opsi dalam jawabanmu. Maka ketika aku dijadikan pilihan, aku lebih baik mundur lalu menghilang. Aku tidak akan membiarkan diri ini kehilangan keberdayaannya. Aku pantas dijadikan satu-satunya. Jadi, memecah kita menjadi jalan yang hanya.

Kamis, 16 Maret 2017

Day-22

Gina temanku


Kamu terlalu baik untukku.
Kalimat itu benar adanya, Gin. Dia laki-laki yang tidak cukup baik untukmu. Sudah syukur dia sadar diri akan kekurangannya. Jadi kamu tidak perlu bersedih lagi.
Ini pun akan menjadi kalimat klise yang mungkin hanya sekali baca, Kamu bisa temukan laki-laki yang jauh lebih baik dari dia. Yang sepadan denganmu, bukan laki-laki pecundang yang sudah tahu banyak kurangnya namun memilih menyerah pada keadaan.
Tidak Gin, aku sedang tidak bercanda. Perihal hati aku tak pernah mau main-main. Yakin saja, setiap yang berkhianat akan dikhianati. Setiap yang menyakiti akan disakiti. Aku sedang tidak mengajarimu untuk berdendam, namun ini hukum alam. Tanpa kamu berdoa seperti itu, kelak akan terjadi juga. Bersabarlah, Gina.


Day-21

Paklik,
Lolipopku rasanya asin dan berlendir
Datang dari selangkangan berdakimu
Sulap yang kau peragakan kemarin sore

Paklik,
Di memekku ada cacing
Maka itu kau coba ambil
Dengan jari yang kau sodok maju-mundur

Ah!
Paklik Kartono,
Kau tak juga mengerti
Cacingku hilang, anuku yang kini merangrang
Aku kesakitan




Day-20

Adikku Kartono,
Bagaimana rasa sabitku?
Ia begitu lihai menari di lehermu
Selihai jarimu menyodok selangkangan anakku

Adikku Kartono,
Tak usah kau perkarakan malu
Sebab ia sudah terganti menjadi pilu
Saat Ndari mengandung bayimu

Selasa, 07 Maret 2017

Day-19

Sangaji Pergi ke Desa Kembang
Kalau nggak salah begitulah judul buku pertama yang aku baca sampai tuntas. Tadi udah nyari di google cuma nggak ada. Mungkin karena terlalu usang. Aku sendiri yakin buku itu diterbitkan di jaman orde baru.
Waktu itu aku masih berseragam putih-merah, duduk di kelas dua atau tiga -entahlah aku lupa- ketika menyelesaikan membaca buku itu. Di cover-nya ada cap SMP tempat kakakku sekolah. Itu buku perpustakaan yang sengaja nggak dia kembalikan.
Buku itu yang membuat aku ketagihan untuk membaca kisah-kisah baru dari imajinasi yang keluar dari manusia. Sayang, hanya sedikit buku yang membuatku tertarik untuk membacanya di perpustakaan SD. Maklum, buku-buku di sana kebanyakan buku tip bertani dan berternak, padahal aku lebih suka buku cerita atau novel.
Beranjak ke SMP, kebanyakan novel yang ada di perpustakaan merupakan novel remaja menyek-menyek. Meski agak malesin, tapi aku lumayan menikmatinya. Jaman SMP, aku belum kenal e-book. Internetan saja paling cuma buat buka facebook, friendster dan game online.
Masa SMA, inilah jaman 'Horeeeee kubahagia'. Pasalnya, novel-novel di perpustakaan SMA melimpah. Tahun pertama aku bisa menyelesaikan dua hingga empat buku dalam seminggu. Sampai-sampai aku mendapat label pengunjung terajin di perpustakaan. Hahaha. Aku dapet penghargaan. Itu kali pertama aku maju ke depan lapangan upacara bukan karena dihukum akibat telat atau lupa memakai dasi. Tapi dapet hadiah. Rasanya seneng. Udah gitu aja. Seenggaknya dalam tiga tahun masa SMA-ku, aku pernah maju dapet penghargaan. Wk.
Tahun kedua dan tahun ketiga perpustakaan mulai agak menjemukan. Buku-buku di sana sudah nggak ada lagi yang menarik. Hampir semua yang menggoda udah dilahap abis. Akibatnya aku mulai bergerilya membaca e-book.
Sampai awal kuliah, aku mulai malas membaca buku. Mungkin karena lebih suka membuang waktu dengan ngongkow dan nyinyirin hidup orang. Tapi mengingat Sangaji, membuatku ingat lagi akan nikmatnya membaca buku. Ketika membaca buku, kita tidak hanya membaca kata per kata yang membentuk kalimat tapi juga menjelajahi tiap inci imajinasi seseorang. Membaca buku sama seperti membaca seseorang.


Ditulis ketika rindu Sangaji

Day-18

Ambil saja, dik
Dia sudah tak ada guna
Dompetnya kosong melongpong
Otaknya pun sudah kopong

Bawa saja, dik
Ajak dia pergi jauh dari pandangku
Agar tak lagi nampak
Manusia seharga cokelat